Mutiasaara Hadits

Sabtu, 15 Agustus 2009

Pitulasan, Sekedar Ajang Lomba?

KabarIndonesia - 17 Agustus sudah di ambang. Tradisi terulang. Kampung dan perumahan maupun desa-desa sibuk bergincu. Mulai mengecat gerbang, memasang umbul-umbul, bendera dan lain-lain. Lomba-lomba menjadi agenda rutin. Sepak bola, dangdut, panjat pinang, lari karung dan banyak lagi. Pada malam tasyakuran juga rutin, doa bersama, tumpengan dan semacamnya.

Sejak saya kecil sampai sekarang rasanya itu-itu saja. Sukma peringatannya sendiri lalu menjadi rutinitas yang kurang menggetarkan. Lalu apa dan bagaimana sebaiknya yang lebih pas?

Indonesia dengan puluhan ribu kepulauan tentu sulit kalau harus menggelar "pitulasan" (tujuh belasan) semegah Singapura beberapa waktu yang lalu. Singapura yang mini amatlah mudah digenggam dalam sebuah perayaan kolosal. Indonesia butuh bantuan teknologi canggih untuk mengkolosalkan perayaan hari kemerdekaannya secara serentak dari Aceh hingga Merauke.

Melalui layar kaca kita akan dapat saksikan bagaimana masyarakat serambi Mekah memaknai tujuhbelasan, yang mungkin beda dengan masyarakat di Maluku atau Papua atau Madura dan lain-lain. Maka makna kebhineka-tunggal-ikaan akan terajut lewat tontonan ini, serta menyadarkan kita betapa Indonesia itu molek dan diincar banyak negara karena kekayaan budaya dan alamnya.

Sebuah tarian Minangkabau misalnya, akan terasa sukmanya bila ditarikan dengan latar belakang Ngarai Sianok atau tarian suku-suku di lembah Baliem yang mengambil gunung-gunung Papua sebagai wallpaper-nya. Tokoh-tokoh masyarakat setempat yang pernah berjasa dalam menegakkan kemerdekaan juga ditampilkan karena sangat mungkin banyak nama-nama lokal yang kurang dikenal di luar. Prestasi-prestasi remaja maupun pemuda setempat juga dihadirkan terutama yang sudah bertaraf nasional maupun internasional agar kita semua tahu bahwa mengisi kemerdekaan itu identik dengan prestasi.

Jangan-jangan pada tanggal 17 nanti kita akan lebih banyak disuguhi tontonan layar kaca yang melow dengan lagu-lagu cinta yang memelas dan sendu. Padahal lagu-lagu semacam Kebyar-kebyarnya mas Gombloh maupun lagu lagu heroiknya Leo Kristi sangat lebih pas.

Saya khawatir generasi muda kita hanya akan berputar-putar di sekitar patah hati dan pengkhianatan cinta, sampai lupa bahwa mengisi kemerdekaan adalah tugas utama mereka setelah generasi sebelumnya rela kehilangan nyawa untuk mereka.

Marilah kita serukan bersama mas Gombloh:

Indonesia, merah darahku!
Putih tulangku,
Bersatu dalam semangatmu,
Indonesia, debar jantungku, getar nadiku,
Berbaur dalam angan-anganmu
Kebyar, Kebyar, Pelangi Jingga...!!(*)

[www.kabarindonesia.com]

0 komentar:

Posting Komentar