Mutiasaara Hadits

Sabtu, 28 Februari 2009

Fenomena Dibalik Iklan Caleg Pinggir Jalan


Tiga bulan menjelang pemilihan umum, jalan-jalan besar di Indonesia kini telah disesaki oleh poster dan iklan-iklan calon anggota legislatif. Masyarakat biasa pengguna jalan raya, yang bukan anggota caleg, sepertinya sudah pasrah dengan sikap para caleg yang demikian ‘bebas dan berkuasa’ di jalan raya. Banyak gerutu, gelengan kepala sampai rasa sesal karena jejalan baliho tersebut merusak pemandangan. Bahkan ada yang menyebutkan iklan-iklan tersebut, baik bentuk maupun pesannya, sangat monoton dan lebih terlihat sebagai ’sampah’ visual ketimbang pesan visual yang mampu menarik simpati. Kendati demikian, di balik berjejalnya ’sampah-sampah’ visual di jalan raya itu, ada pesan makna sosial yang justru harus diperhatikan oleh para caleg jika kelak berhasil duduk sebagai anggota DPR (D). Bahwa banyak caleg memakai jalan raya sebagai arena untuk mengiklankan diri, membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memakai jalan raya sebagai jalur pendukung untuk melaksanakan aktivitas. Pada masyarakat yang sudah maju, fungsi jalan raya telah tergantikan oleh telepon, internet, SMS, dan dalam beberapa hal juga oleh kartu kredit atau ATM. Fenomena ini selanjutnya memberikan pesan yang sarat makna bagi masyarakat. Dari segi intelektual, dalam arti kesadaran membaca, masyarakat Indonesia boleh dikatakan masih kurang. Sebab, jika misalnya kegiatan membaca itu telah memasyarakat, mengiklankan diri melalui media masa cetak (paling bagus melalui majalah karena ‘tahan’ selama satu minggu atau satu bulan) merupakan pilihan paling efektif. Pengiklan akan lebih banyak memberikan data diri dan memberikan pesan politiknya, sedangkan pembaca akan lebih mudah serta lebih tenang dalam mempelajari pesan iklan yang bersangkutan. Interaksi antara pengiklan dengan pembaca akan lebih intens dan pesan lebih sampai ‘ke hati’. Kenyataan adanya iklan calon politisi yang ada di jalan raya, mengungkapkan bahwa masyarakat kita kurang melakukan aktivitas baca melalui media massa cetak. Jika masyarakat susah membaca koran, maka jangan diharapkan mengiklankan diri di internet. Ini bukan merupakan pilihan yang utama bagi para calon legislatif. Dengan kenyataan seperti ini, calon anggota legislatif sudah seharusnya dari sekarang memikirkan bagaimana caranya untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Bukan sekadar untuk ‘memudahkan’ anak cucunya jika kelak harus bertarung lagi menjadi calon legislatif, tetapi demi memberikan sebuah pemahaman dan jalur lebih cepat untuk memperluas cakrawala pengetahuan. Di masa lalu, zaman Orde Baru, di berbagai sudut kota, ada papan baca yang berisi tempelan koran yang terbit hari itu. Ini tidak saja terjadi di kota besar macam Surabaya, tetapi juga sampai ke Denpasar. Di zaman Orde Baru juga ada yang namanya koran masuk desa sehingga menjadi bahan diskusi malam bagi masyarakat desa. Kini hal itu sudah hilang. Maka, kelak jika para calon anggota legislatif ini berhasil masuk parlemen dan pemerintahan, harus kembali mengaktifkan pola-pola pendidikan massa seperti koran tempel dan koran masuk desa tersebut. Koran tempel tidak harus dilakukan di kota saja tetapi di desa-desa. Seperti halnya para calon anggota legislatif saat ini memasang baliho hampir setiap lima puluh meter, maka jika memungkinkan harus didirikan papan koran setiap lima puluh meter juga. Secara sosiologis, fenomena ini juga membuktikan arus urbanisasi antara desa dan kota masih sangat tinggi. Jalur-jalur yang dijejali oleh iklan dan baliho politik tersebut, adalah jalur yang dekat dengan kota. Semakin jauh dengan kota, iklan politik tersebut semakin berkurang. Ini menandakan bahwa lalu lintas sosial yang paling padat terdapat sekitar 20 kilometer dari kota menuju pedesaan. Jalur inilah yang paling dimungkinkan dilalui oleh kendaraan bermotor, sehingga dimungkinkan menjadi sasaran iklan dari calon anggota legislatif. Fenomena ini harus memberikan pesan kepada calon anggota legislatif, bahwa di depannya kini muncul perkerjaan besar, yakni bagaimana menghilangkan perbedaan pembangunan antara desa dengan kota. Persoalan ini bukan menjadi masalah baru di Indonesia karena Belanda pun mempunyai persoalan demikian di zaman dulu, juga pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Karena ada kesenjangan seperti itulah maka kota selalu sesak dan semakin sesak lagi di zaman sekarang. Negara-negara sosialis, seperti halnya Vietnam, Kamboja atau bahkan Cina sekalipun, pernah memusatkan pembangunan di desa. Tetapi saat ini model pembangunan demikian sudah dikalahkan oleh globalisasi yang dikuasai oleh kapitalis. Maka jalan paling baik untuk menghilangkan hal seperti itu adalah dengan membangun sarana penghubung yang baik antara desa dan kota. Bukan sekadar jalan raya yang harus baik, tetapi pasokan listrik, bahan bakar (gas, minyak tanah, bensin, solar) harus juga tersedia di desa. Tidak ketinggalan pula pasar. Itu harus dilakukan tanpa menggerus infrastruktur pedesaan yang sudah ada semisal mengubah persawahan menjadi kompleks perumahan atau pertokoan. Jika yang terakhir ini dilakukan maka yang terjadi bukan pembangunan desa tetapi justru transformasi desa menjadi kota. Selanjutnya bukan keseimbangan antara desa dengan kota yang didapatkan tetapi krisis sosial. Tidak mudah orang desa itu menjadi orang kota. Sebaliknya orang kota relatif akan mudah ‘menguasai’ kehidupan orang-orang desa melalui berbagai pengalaman yang dimilikinya. Sekali lagi, para caleg harus memperhatikan hal-hal seperti ini. Di Bali, secara guyon sudah muncul banyak kelakar yang bisa membuat merah kuping para caleg ini. Salah satunya, jika diperhatikan dari sisi bentuknya, gambar-gambar caleg itu memberi kesan gaya yang sama dan monoton. Ribuan gambar caleg di pinggir jalan raya itu mempunyai gaya yang monoton; tangan mencakup, kepala pakai destar dan pesan: minta doa restu dan dukungan. Kemonotonannya sama. * Kelak jika para calon anggota legislatif ini berhasil masuk parlemen dan pemerintahan, harus kembali mengaktifkan pola-pola pendidikan massa seperti koran tempel dan koran masuk desa tersebut. * Seperti halnya para calon anggota legislatif saat ini memasang baliho hampir setiap lima puluh meter, maka jika memungkinkan harus didirikan papan koran setiap lima puluh meter juga. * Di depan para caleg kini muncul perkerjaan besar, yakni bagaimana menghilangkan perbedaan pembangunan antara desa dan kota.
http://komangarya.com/?p=115

0 komentar:

Posting Komentar